Sejarah Peringatan Maulid Nabi

Sejarah dari Peringatan Maulid Nabi.


Kegiatan Maulid Nabi belum dilaksanakan pada zaman Nabi, tetapi pekerjaan itu dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara umum. Walaupun tidak ada nash yang nyata tetapi secara tersirat Allah dan Rasul-Nya menyuruh kaum muslimin untuk merayakan suatu hari yang menjadi peringatan-peringatan seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, tahun baru Islam, hari Asyura’ dan lain-lain. Di antara 40 dalil yang menjadi dasar Maulid Nabi antara lain:

أَنﱠ رَﺳُﻮلَ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺪِمَ اﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ ﻓَـﻮَﺟَﺪَ اﻟْﻴَـﻬُﻮدَ ﺻِﻴَﺎﻣًﺎ ﻳَـﻮْمَ ﻋَﺎﺷُﻮرَاءَ ﻓَـﻘَﺎلَ ﳍَﻢُْ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣَﺎ ﻫَﺬَا اﻟْﻴَـﻮْمُ اﻟﱠﺬِي ﺗَﺼُﻮﻣُﻮﻧَﻪُ ﻓَـﻘَﺎﻟُﻮا ﻫَﺬَا ﻳَـﻮْمٌ ﻋَﻈِﻴﻢٌ أَﳒَْﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻴﻪِ ﻣُﻮﺳَﻰ وَﻗَـﻮْﻣَﻪُ وَﻏَﱠﺮقَ ﻓِﺮْﻋَﻮْنَ وَﻗَـﻮْﻣَﻪُ ﻓَﺼَﺎﻣَﻪُ ﻣُﻮﺳَﻰ ﺷُﻜْﺮًا ﻓَـﻨَﺤْﻦُ ﻧَﺼُﻮﻣُﻪُ ﻓَـﻘَﺎلَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻓَـﻨَﺤْﻦُ أَﺣَﻖﱡ وَأَوْﱃَ ﲟُِﻮﺳَﻰ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻓَﺼَﺎﻣَﻪُ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ وَأَﻣَﺮَ ﺑِﺼِﻴَﺎﻣِﻪ ِ


Artinya : Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mendatangi kota Madinah, lalu didapatinya orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Asyura. Maka beliau pun bertanya kepada mereka, “Hari apakah ini, hingga kalian berpuasa?” mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan Kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Karena itu, Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian.” kemudian beliau pun berpuasa dan memerintahkan kaum puasa di hari itu. (HR. Bukhari Muslim)


Al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani yaitu pengarang Syarh Shahih Bukhari yang bernama Fatkhul Bari’ mengatakan bahwa dari hadis tersebut dapat dipetik hukum:
  1. Umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan agar memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.
  2. Nabi pun memperingati hari karamnya Fir’aun dan bebasnya Musa dengan melakukan puasa Asyura sebagai rasa syukur atas hapusnya yang bathil dan tegaknya yang hak.



Selanjutnya dalil yang berkaitan dengan Maulid Nabi sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah Swt surat al-A’raf ayat 157:

ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِىَّ ٱلْأُمِّىَّ ٱلَّذِى يَجِدُونَهُۥ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ وَٱلْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَىٰهُمْ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ٱلْخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلنُّورَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ


Artinya : “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. al-A’raf: 157)


Dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas bahwa orang yang memuliakan Nabi Muhammad Saw, adalah orang yang beruntung. Merayakan Maulid Nabi termasuk dalam rangka memuliakannya. Ayat di atas sangat umum dan luas. Artinya, apa saja yang dikerjakan kalau diniatkan untuk memuliakan Nabi maka akan mendapat pahala. Yang dikecualikan ialah kalau memuliakan Nabi dengan suatu yang setelah nyata haramnya dilarang oleh Nabi seperti merayakan Maulid Nabi dengan judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.


Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138 H-1193 M). Namun sahabat cgkata.blogspot.com, adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.


Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullah Saw menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi Saw. Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan ritual maulid Nabi Saw juga tidak pernah kita dari generasi tabi'in hingga generasi salaf selanjutnya, lho sahabat cgkata.


Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah Saw, para shahabat bahkan para ulama salaf di masa selanjutnya. Perayaan maulid Nabi Saw secara khusus baru dilakukan di kemudian hari, dan ada banyak versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa Shalahuddin al-Ayyubi yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas perayaan natal umat Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.


Versi lain menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fatimiyyah di Mesir pada akhir abad keempat hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab al-A'yad wa atsaruha alal Muslimin oleh Sulaiman bin Salim as-Suhaimi. Disebutkan bahwa para khalifah Bani Fatimiyyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, di antaranya adalah perayaan tahun baru, Asyura, maulid Nabi Saw bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein serta maulid Fatimah dan lain-lainnya. Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id Kukburi.


Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan, seperti: pembacaan shalawat Nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten. Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.


Namun demikian sahabat cgkata.blogspot.com, belum didapatkan keterangan yang memuaskan mengenai bagaimana perayaan maulid masuk ke Indonesia. Namun terdapat indikasi bahwa orang-orang Arab Yaman yang banyak datang di wilayah ini adalah yang memperkenalkannya, disamping pendakwah-pendakwah dari Kurdistan. Ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sampai saat ini banyak keturunan mereka maupun syaikh-syaikh mereka yang mempertahankan tradisi perayaan maulid. Di samping dua penulis kenamaan kitab Maulid berasal dari Yaman (al-Diba’i) dan dari Kurdistan (al-Barzanji), yang jelas kedua penulis tersebut mendasarkan dirinya sebagai keturunan Rasulullah, sebagaimana terlihat dalam kasidah-kasidahnya.


Dapat dipahami bahwa tradisi keagaman perayaan maulid merupakan salah satu sarana penyebaran Islam di Indonesia, Islam tidak mungkin dapat tersebar dan diterima masyarakat luas di Indonesia, jika saja proses penyebarannya tidak melibatkan tradisi keagamaan. Yang jelas terdapat fakta yang kuat bahwa tradisi perayaan maulid merupakan salah satu ciri kaum muslim tradisional di Indonesia. Dan umumnya dilakukan oleh kalangan sufi. Maka dari segi ini dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa masuknya perayaan maulid bersamaan dengan proses masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pendakwah yang umumnya merupakan kaum sufi. Hal itu dilakukan karena dasar pandangan ahl al-sunnah wa al-jama’ah, corak Islam yang mendominasi warna Islam Indonesia, lebih fleksibel dan toleran dibanding dengan kelompok lain. Mempertahankan tradisi menjadi sangat penting maknanya dalam kehidupan keagamaan mereka, berdasarkan pada kaidah ushuliyah, al-muhafadzah li al qadim al-shalih, wa al-ahdza min jadid al ashlah. Inilah kemudian dalam wacana keilmuan disebut sebagai Islam Tradisional.


Justru karena kemampuan dalam menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat inilah, maka kelompok tradisional Islam berhasil menggalang simpati dari berbagai pihak yang menjadi kekuatan pedukung. Rozikin Daman memandang bahwa hal inilah yang mendorong timbulnya kelompok tradisionalisme dan sekaligus menjadi salah satu faktor pendorong bagi tumbuhnya gerakan tradisionalisme Islam. Salah satu sarana efektif penggalangan simpati tersebut adalah pelestarian tradisi keagamaan yang populer di masyarakat, termasuk yang paling penting didalamya adalah peringatan maulid serta pembacaan kitab-kitab maulid, yang umumnya lebih dikenal sebagi diba’an atau berjanjen.

Post a Comment for "Sejarah Peringatan Maulid Nabi"