HARI RAYA NYEPI 2023

cgkata.blogspot.com: Sehari sebelum 1 Sasih Kedasa atau Waisaka setiap tahun kalender Tahun Saka diperingati sebagai Hari Raya Nyepi oleh Umat Hindu khususnya Masyarakat Bali. Banyak Rangkaian acara juga kegiatan dilaksanakan menyambut perayaan dengan mengangkat Tema Hari Raya Nyepi 2023 diantaranya MELASTI, TAWUR [PECARUAN] DAN PENGRUPUKAN hingga Puncak penyucian diri [bhuana alit] di Hari Raya Nyepi, melalui kesempurnaan keheningan.


Di Tahun 2023 ini, Kegiatan Dharma Santi Perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru 1945 mengusung tema "Melalui Dharma Agama dan Dharma Negara Kita Sukseskan Pesta Demokrasi Indonesia". Tema ini dimaksudkan untuk mengingatkan akan pentingnya ajaran Dharma. Dharma Agama adalah merupakan tugas dan kewajiban yang patut dilaksanakan oleh setiap umat untuk mencapai tujuan agama atau bisa juga Dharma Agama adalah hukum, tugas, hak dan kewajiban setiap orang untuk tunduk dan patuh serta melaksanakan ajaran agama dan aspek-aspek yang dikandung dalam ajaran agama. Sementara, Dharma Negara memiliki arti bahwa kita sebagai warga dari sebuah Negara wajib untuk menjaga, membela, menjunjung tinggi kehormatan Negara dan mengisi kemerdekaan dengan selalu mengingat jasa para pahlawan. Sehingga kita sebagai umat manusia harus merawat dan dapat menjalankan kedua ajaran Dharma ini agar bisa tercipta suatu keseimbangan dalam kehidupan ini. inilah yang menjadi tujuan Kegiatan Perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1945 tahun ini.


Selain itu, Kegiatan Perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1945 ini juga dimaknai untuk memperkuat kerukunan antar-umat beragama. Termasuk melalui kegiatan-kegiatan Ritual, Seremonial, Sosial dan Intelektual dalam reaktualisasi kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam pengertian secara umum, bahwa Makna dan Pelaksanaan Hari Raya Nyepi adalah untuk Ketenangan suasana Nyepi juga mampu menyegarkan kembali pikiran.


https://cgkata.blogspot.com/
Gambar kata mutiara Nyepi bertema ucapan selamat hari raya nyepi tahun baru saka 1945/ 2023




SEJARAH HARI RAYA NYEPI

Asal-usul kisah Hari Raya Nyepi di Bali dapat ditelusuri berdasarkan perjalanan seorang pendeta Kshatrapa Gujarat (India) dari suku bangsa Saka, yang diberi gelar Aji Saka, perjalanan Aji Saka dan sejumlah abdinya yang sampai pertama kali di pulau Jawa yaitu di desa Waru, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada tahun 456 Masehi. Aji Saka datang ke pulau Jawa untuk mengenalkan dan mensosialisasikan kalender Saka serta peringatan pergantian tahun Saka yang dikenal oleh Umat Hindu dengan perayaan Hari Raya Nyepi. Dari sinilah sejarah perayaan hari Raya Nyepi oleh umat Hindu di bumi Nusantara terutamanya Bali hingga hari ini.


Di 2022, Pemerintah Indonesia Berdasarkan SKB 3 Menteri Revisi Hari Libur dan Cuti Bersama 2023 telah menetapkan bahwa tanggal Sehari sebelum 1 Sasih Kedasa atau Waisaka setiap tahun kalender Tahun Saka untuk Perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1945 jatuh pada hari Rabu, 22 Maret 2023.



Hari Raya Nyepi bertujuan untuk untuk memperkuat kerukunan antar-umat beragama sekaligus mengambil manfaat dan makna dari memperingatinya. Sehingga kita dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, dan berbangsa.


NYEPI DALAM PENGERTIAN KATA: HARI RAYA SUCI NYEPI TAHUN BARU SAKA

Menurut ahli bahasa Wikipedia, Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.


Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.


Tujuan dan Makna Rangkaian Upacara Nyepi

Pada masyarakat Bali, upacara inisiasi umumnya dilakukan pada saat masa peralihan, baik pada diri manusia (bhuana alit) maupun alam semesta (bhuana agung). Hal ini disebabkan karena masyarakat Bali memandang masa peralihan itu merupakan hal sensitif, saat yang mudah mendatangkan bahaya atau hal-hal yang tidak diinginkan sehingga pada masa peralihan itu perlu diadakan upacara inisiasi.


Proses pelaksanaan rangkaian upacara Nyepi di Bali dikoordinasikan dan diawasi oleh masing -masing Kepala Desa Adat bersama stafnya dengan berpedoman pada pedoman umum yang dibuat oleh Parisada Hindu Dharma Tingkat I Bali. Perayaan H ari Raya Nyepi itu sudah menjadi hari libur nasional yang diselenggarakan setiap tahun sekali, tepatnya pada pergantian tahun baru caka dengan rangkaian upacara sebagai berikut:


Upacara Melasti atau Mekiis

Upacara melasti atau mekiis, bahkan ada juga yang menyebut upacara ini dengan nama upacara melis, biasanya dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum pelaksanaan Nyepi. Tujuan upacara melasti ini adalah untuk melakukan penyucian peralatan upacara dan personal masing-masing umat yang akan melaksanakan ritual catur brata penyepian pada hari Nyepi. Pada hari melasti ini, pretima dan sarana atau perlengkapan upacara lainnya diarak ke pantai atau sungai. Namun, kebanyakan warga Bali yang beragama Hindu menyucikan pretima dan perlengkapannya ke pantai. Di sini, adanya suatu pandangan bahwa laut, danau, atau sungai merupakan sumber air suci dan dipercaya kecemaran atau keletehan (kekotoran) tersebut bisa disucikan.


Upacara Pangrupukan

Upacara Pengrupukan ini memiliki beberapa sebutan, antara lain upacara tawur kesanga atau tawur agung. Seperti telah disebutkan di atas sepintas bahwa ritual pangrupukan ini diselenggarakan sehari sebelum merayakan Nyepi, tepatnya pada bulan mati (tilem) Sasih Kasanga terakhir untuk melaksanakn upacara bhuta yadnya. Upacara ini diadakan pada waktu perganti an tahun menurut perhitungan Hindu Bali dengan upacara yang disebut tawur agung kasanga, yakni upacara yang dipersembahkan kepada bhuta kala.


Dengan demikian, pelaksanaan upacara ini di Bali disebut upacara korban (mecaru) yang bertujuan menjaga keseimbangan alam semesta maupun diri manusia dari gangguan bhuta kala. Adapun sesajen caru yang digunakan dalam upacara pangrupukan tersebut sebagai berikut.


1. Untuk di Tingkat Desa Adat.


Bahan sesajen caru yang digunkan antara lain nasi sasah amancawarna (brumbun) sebanyak 9 tanding, segehan agung dengan warna putih sebanyak 108 tanding, dagingnya olahan ayam brumbun dan tetabuhan serta api takep. Sesajen/bebanten ini dihaturkan ke hadapan Sang Bhuta Kala.


Apabila diperhatikan nasi sasah dan segehan agung itu masing-masing berjumlah sembilan tanding dan 108 tanding. Ini menunjukkan pada angka kelipatan sembilan, yang berarti bahwa ada kaitannya dengan Dewata Nawa Sanga yang menempati arah mata angin di alam semesta ini dan juga menempati pada bagian -bagian tertentu dari organisme manusia, seperti telah disebutkan di atas. Ayam brumbun (amancawarna) adalah seekor ayam yang warna bulunya terdiri atas warna merah, putih, kuning, dan hitam. Ayam brumbun biasanya dipakai sesuai dengan urip panca desa (bilangan 33).


Kulit ayam brumbun itu dikelupas, dagingnya diolah dijadikan caru sebanyak delapan tanding (takaran), sesuai dengan warna brumbun, seperti telah disebutkan di atas. Selanjutnya, tetabuhan dibuat dari tetesan darah binatang dengan memotong leher ayam. Inilah yang berkembang menjadi tabuh rah/tajen. Hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan tabuh rah pada setiap upacara pangrupukan dan upacara pecaruan di tingkat desa adat di Pulau Bali. Menurut kepercayaan umat yang beragama Hindu di Pulau Bali tetabuhan ini adalah minuman sang bhuta kala, sedangkan lauk-pauk yang disukai oleh sang bhuta kala itu adalah segala yang berbau amis dan babad ( jejeroan) mentah. Selain itu, bentuknya seperti tampak dara atau swastika netral yang menyimbolkan arah mata angin. Apinya merupakan simbol penyaksi dan pengantar diselenggarakannya upacara itu.


Pelaksanaan upacara pacaruan di tingkat desa adat pada umumnya dilaksanakan di perempatan jalan atau pertigaan jalan, karena tempat itu dipandang keramat dan tempat tinggal para bhuta kala. Pelaksaan upacaranya dilakukan pada saat tengai tepet (peralihan dari pagi hari ke siang hari) atau pada waktu sandikala (peralihan siang hari ke malam hari), karena menurut keyakinan Umat Hindu bahwa pada saat peralihan itu para bhuta k ala berkeliaran. Dalam hal ini, pada waktu ngayat tangan pemangku/pinandita yang memimpin upacra menghadap ke bawah/ ke bumi, karena caru itu disuguhkan kepada bhuta kala yang derajatnya lebih rendah daripada manusia, agar tidak mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung). Pelaksanaan upacara pecaruan di tingkat desa adat didahulukan, karena setiap rumah tangga akan memohon tirta caru ke desa setelah selesai pecaruan di desa adat setempat.


2. Untuk Tiap Rumah Tangga


Korban/caru di rumah tangga hampir sama dengan di tingkat desa adat, hanya tetabuhan dari darah ayam digantikan dengan arak berem, karena maknanya sama. Caru itu dihaturkan pada saat sandikala di halaman sanggah/pemerajan (tempat suci keluarga) masing-masing. Kemudin, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan agung /pecaruan dan nasi sasah sebanyak 108 tanding di depan pintu rumah. Selesai menghaturkan segehan agung/pecaruan, anggota keluarga mebyakala, yaitu upacara pembersihan diri ( bhuana alit) dari gangguan bhuta kala. Oleh karena itu, pada waktu natab sesajen byakala tangan diarahkan ke bawah atau ke bumi pula.


Selanjutnya, diadakan pangrupukan yang bertujuan mengusir para bhuta kala dari pekarangan rumah dan bilik-bilik bangunan rumah agar kembali ke tempatnya masing-masing. Alat perlengkapan yang digunakan, antara lain obor, kentungan, dan perlengkapan lainnya. Caranya adalah obor dinyalakan dan kentungan (kulkul) dipukul-pukul sambil mengelilingi halaman rumah dan berputar ke kiri sebanyak lima kali (kelima arah mata angin), yang berarti menuju ke bawah, mengingat derajat bhuta kala itu lebih rendah dari manusia.


Apabila diperhatikan mantra-mantra yang diucapkan pada waktu penyelenggaraan upacara itu menunjukkan bahwa unsur pembersihan (penyupatan) di sini tidaklah bersifat nyata, melainkan lebih bersifat abstrak/rohaniah, yaitu meningkatkan taraf hidup bhuta k ala dan binatang yang dijadikan caru/korban menuju ke alam manusia. Selain itu, memohon agar para bhuta kala tidak mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung) maupun diri manusia (bhuana alit), sebaliknya dapat memberikan restu dan keselamatan.


Di tingkat desa adat, upacara pangrupukan disertai aksi ogoh-ogoh yang diiringi bunyi- bunyian seperti gong baleganjur, kentungan (kulkul), dan alat sejenis. Secara simbolis, ogoh-ogoh itu merupakan manifestasi dari bhuta kala yang biasanya berwujud seperti raksasa denganmata melotot dan mulut menganga. Dengan demikian, wujud ogoh-ogoh tersebut sangat seram.


Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir ini, pada hari pangrupukan itu teruna-teruni di Bali mengadakan lomba ogoh-ogoh, antara lain di tingkat banjar/lingkungan, desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Pada arak-arak atau pawai ogoh-ogoh dilaksanakan dilengkapi dengan barisan di bagian depan yang membawa obor dan diiringi dengan gambelan baleganjur. Walaupun di suatu banjar atau desa tidak mengadakan lomba ogoh-ogoh tetapi tetap dilaksanakan arak-arakan ogoh-ogoh untuk meriahkan hari pangrupukan di lingkungannya masing-masing.


Pada malam pangrupakan ini, biasanya di Bali, baik tua-muda maupun pria–perempuan bersuka ria merayakan pangrup ukan ini, ada yang berjalan-jalan di lingkungan wilayah banjar atau desanya sambil mengarak ogoh-ogoh. Ada juga sebagian yang duduk di pinggir-pinggir jalan sambil menonton pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh sampai dini hari. Biasanya arak-arak ogoh-ogoh terjadi saling balas-balasan antara banjar satu dengan banjar lainnya, atau desa satu dengan desa lainnya.


Untuk mengantisipasi supaya tidak terjadi konflik secara fisik maka pihak keamanan setempat mengerahkan pecalang dan hansip, serta dibantu oleh personil dari kepolisian tingkat kecamatan. Pada malam pengrupukan inilah sebagai momentum untuk mengintegrasikan warga banjar dan atau desa setempat karena di antara seringkali dapat saling bertegur sapa sambil berjalan-jalan atau duduk-duduk di pinggir jalan. Bahkan, melalui lomba ogoh-ogoh timbul kreativitas generasi muda di Bali dalam menciptakan hasil karya nyata yang berupa ogoh-ogoh serta atraksi seni (tari-tarian, tetabuhan gambelan, dan sejenisnya) untuk menyamarakkan lomba ogoh-ogoh tersebut.


Malam pangrupukan ini dirayakan sambil menyambut malam tahun baru caka sampai pukul 05.00 (WITA) pagi. Setelah itu, ogoh-ogoh dibakar, sebagai simbol bahwa para bhuta kala telah dikembalikan ke tempatnya masing-masing. Selanjutnya, menjelang matahari terbit di ufuk timur umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi.


Hari Nyepi

Cgkata: “nyepi” tersebut, yaitu berasal dari kata sepi. Kata sepi di sini mengandung arti hening, senyi-senyap, “ sipeng”. Hari Nyepi dirayakan pada tanggal 1 bulan ke 10 Caka, atau dengan sebutan lain “Penanggalan Apisan Sasih Kedasa”.


Ketika merayakan hari raya nyepi itu, umat Hindu di Bali mem peroleh pembelajaran untuk mengendalikan diri dengan cara tidak bepergian, tidak beraktivitas/bekerja, berpuasa (tidak makan dan minum), tidak melakukan aktivitas yang dapat mencemarkan badan. Pengendalian diri ini dilakukan dengan cara mengadakan catur brata penyepian.


Dengan melaksanakan catur brata penyepian ini, umat Hindu di Bali bisa konsentrasi atau fokus dengan tenang dan khusuk untuk kembali ke jati diri, yang ditempuh dengan cara meditasi, shamadi, perenungan diri sendiri di suasana yang sunyi-senyap atau “keheningan”.


Catur Brata penyepian (pengendalian diri) dilaksanakan selama 24 jam, yakni sehari setelah Tilem Sasih Kasanga (Tilem Kasanga), tepatnya pada paroh terang pertama masa kesepuluh/ panaggal sasih kadasa.


Pelaksanaan catur brata penyepian itu mulai pukul 05.00 sampai pukul 05.00 besok pagi harinya, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut.
  1. Amati geni. Dalam bahasa Bali, geni artinya api. Dengan demikian, amati geni berarti tidak menyalakan api atau lampu dan tidak boleh mengumbar/mengobarkan hawa nafsu.
  2. Amati karya. Kata karya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti kerja. Amati karya berarti tidak melakukan kerja/kegiatan fisik, tidak bersetubuh, melainkan tekun melakukan penyucian rohani.
  3. Amati lelungan. Kata lelungan berasal dari bahasa Bali, yakni dari akar kata lunga yang berarti pergi. Oleh karena itu, amati lelungan mengandung arti tidak berpergian kemana-mana, melainkan senantiasa mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan, dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya) yang telah disemayamkan di dalam organ-organ manusia sepeti telah disebutkan cgkata.blogspot.com
  4. Amati lelanguan. Kata lelanguan juga termasuk bahasa Bali, yakni berasal dari kata langu yang berarti hiburan atau rekreasi. Dengan demikian, amati lelanguan berarti tidak mengadakan hiburan/rekreasi atau bersenang-senang, termasuk tidak makan dan tidak minum.



Pada Hari Raya Nyepi, suasana di Bali sepanjang hari menjadi sunyi-senyap, dan pada malam harinya gelap gulita. Tidak ada orang yanglalu lalang, semua orang tinggal di rumahnya masing-masing menjalani brata penyepian sampai menjelang matahari terbit besok harinya, tepatnya pada hari mulai Ngembak Geni.


Hari Ngembak Geni ini yang dirayakan pinanggal ping kalih (tanggal 2) Sasih Kadasa (bulan X), yaitu pada ini Tahun Caka ini memasuki hari kedua. Hari Ngembak Geni ini mengandung makna telah berakhirnya catur brata penyepian. Pada hari ngembak geni umat Hindu melaksanakan acara saling mengunjungi keluarga/kerabat, teman dekat, teman seprofesi, dan yang lainnya untuk saling memaafkan atas segala perbuatan, kata kekhilafan dan kesalahan yang telah atau mungkin terjadi sebelumnya.


Tujuan Hari Raya Nyepi menjadi momentum yang sangat penting artinya, karena apa yang telah dirasakan, diperbuat, dan dialami pada tahun sebelumnya diingat, direnungkan, dan dipertimbangkan kembali pada Hari Raya Nyepi. Dari sini umat Hindu dapat mengetahui kelebihannya, kekurangannya, dan kesalahanya serta rencana-rencana yang perlu dilaksanakan di masa-masa mendatang. Dengan adanya kesadaran atas segala kesalahan yang pernah dirasakan, dialami, atau dan dilakukan maka pada Hari Ngembak Geni, besok harinya, tiba kesempatan untuk saling memaafkan.


Pada Hari Ngembak Geni umat Hindu memohon maaf atas kesalahannya dan memaafkan kesalahan orang lain yang dialami pada tahun sebelumnya. Melalui kesempatan itu tercipta hubungan keseimbangan dan keselarasan yang berlandaskan kemanusiaan. Selain itu, pada waktu hari Ngembak Geni secara psikologis dirasakan memperoleh kekuatan baru untuk mengisi lembaran hidup baru. Hal ini dapat memberikan sumbanga n untuk mencapai keseimbangan atau keharmonisan sistem kehidupan masyarakat yang beragama Hindu khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.


Akhir tulisan cgkata.blogspot.com menyampaikan ucapan selamat Peringatan Hari Raya Nyepi 2022 Tahun Caka (baca: saka) 1945 yang jatuh pada Rabu, 22 Maret 2023 untuk seluruh sahabat dan keluarga umat Hindu yang merayakannya!.


Mohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan, Melalui Dharma Agama dan Dharma Negara Kita Sukseskan Pesta Demokrasi Indonesia ya cgkata! Semoga dengan event perayaan Nyepi Tahun Baru Caka 1945 ini mampu membangkitkan perenungang dalam sepi, sunyi untuk refleksi menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta) khususnya dalam memperkuat kerukunan antar-umat beragama.

Post a Comment for "HARI RAYA NYEPI 2023"